Lelaki dan Sepeda Ontel

Hari ini adalah hari pertamaku bersekolah di sekolah baru pilihan Bunda. Kata beliau, sekolah tersebut adalah sekolah favorite se Jakarta. Jika mau dibandingkan, sekolahku yang dulu di Bandung, masih kalah.

Namun bagiku sama saja. Meski Bunda mengatakan hal itu aku tak bisa memaksakan diriku bahagia. Sebab, dasarnya aku masih merasakan suatu kesedihan didalan hatiku yang terdalam. Disaat aku harus meninggalkan kota Bandung dan pindah ke Jakarta karena Ayah dipindah tugaskan.

Awalnya aku meminta tinggal saja, toh aku sudah bisa mengurus diri sendiri. Paling tidak hingga aku bisa tamat di bangku SMA. Namun, Bunda tidak mengizinkanku. Beliau sangat menghawatirkan putri semata wayangnya ini.

Jadi, apalah daya aku tak bisa melawan keinginan orang tua. Ini baru tentang pendidikan, bagaiamana dengan jodoh yah, mungkin saja nanti aku menikah karena pilihan Bunda. Akh galau memikirkannya.

Diperjalanan menuju sekolah, ku lirik awan mendung dibalik kaca mobil. Sangat gelap! Pikirku hujan akan turun sebentar lagi. Itu tandanya kedatanganku di sekolah baruku akan disambut ceria oleh air hujan.

Tak berselang beberapa menit, akupun sampai didepan gerbang sekolah. Aku melihat sebuah gedung yang bercat putih abu-abu. Aku tak langsung turun dari mobil. Aku hanya diam sejenak dan memandangi suasana sekolah dari dalam mobil.

Hingga akhirnya tatapanku terpana pada sosok yang kini sudah ada di belakang mobilku. Aku melihatnya dari kaca spion. Dia tampak celingak celinguk. Mungkin dia ingin lewat namun, mobil yang kutumpangi belum bergeser.

"Non, sudah sampai" bang Ujanh, sopir pribadiku menegurku.

"Iya bang, aku udah mau turun nih"

"Sebentar di jemput jam berapa non"  tanyanya lagi.

"Nanti aku hubungi yah" jawabki kemudian turun dengan segera.

Aku langsung masuk ke halaman sekolah tanpa berbalik melihat sosok bersepeda ontel itu lagi. Kini pandanganku beralih ke panorama sekolah yang begitu hijau. Deretan pohon-pohon berukuran sedang seolah menjadi penjempu disaat aku mamasuki pengarangannya.

Kini aku melangkah menuju ruang guru. Seperti himbauan dari bunda, bahwa aku harus ke ruang guru terlebih dahulu dan bertemu dengan Bu Lita.

"Assalamu 'alaikum bu, aku Lala pindah dari Bandung"

"Oh kamu putrinya Pak Wijaya kan?"

"Iya ibu"

"Tunggu yah, aku masuk dulu ke ruangan kepsek"

"Iya bu"

Kini beberapa guru sedang berbisik memandangku sambil mengangguk. Beberapa potong kata sempat tertangkap oleh indra pendengaranku. Adapula beberapa di antarnya yang menghampiriku menunjukkan keramahannya.

"Wah kamu putri pengusaha kaya itu kan"

"Iya, untung banget sekolah kita, anak pengusaha kaya bisa sekolah disini"

"Iya, sempat tunjangan kita bisa naik"

Aku ingin menutup kupingku. Namun karena aku mengingat adanya sopan santun, maka aku hanya menanggapinya dengan senyuman.

Sebenarnya aku risih jika orang-orang memperlakukanku baik karena memandang sosok ayah sebagai seorang pengusaha yang berada. Di benakku, bagaimana jika ayahku bukan pengusaha kaya, akankah orang-orang tetap memandangku seutuhnya? Ataukah hanya sebelah mata? Akh entahlah.

Tak berselang waktu, Bu Lita kini datang menghampiriku.

"Ayo, kata kepsek, kamu boleh langsung masuk kelas"

"Oh, terima kasih bu"

Kini aku dan Bu Lita berjalan keluar dari ruang guru. Rupanya kelas yang kami tuju hanya bersebelahan dengan ruang guru.

Kini mataku menatap siswa-siswa yang sedang membersihkan halaman kelas. Bu Lita menghimbau kepada mereka agar lekas membersihkan tangan dan masuk ke kelas.

Di ujung mataku, kulihat laki-laki pemilik sepeda ontel tadi pagi. Rupanya dia akan sekelas denganku. Sepertinya dia menatapku. Atau mungkin aku hanya kegeeran saja. Akh sudahlah. Aku tak mau berbalik melihatnya.

Kuikuti langkah Bu Lita masuk ke kelas. Dan berhenti tapat di depan papan tulis. Aku bisa menangkap beberapa rupa teman-teman baruku. Seorang perempuan berparas cantik yang duduk di pojokan paling belakang kini terlihat sedang menulis. Seorang perempuan yang duduk di bangku paling depan. Dia terlihat modis, dan sepertinya cerdas.

Kemudian lagi-lagi mataku beralih lagi pada laki-laki yang duduk di bangku paling depan, berseberangan dengan perempuan modis itu. Dialah sosok bersepeda ontel itu. Ketika aku melihatnya, dia mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Seolah tak mau melihatku. Entah apa yang ada dipikirannya. Aku menatapnya sekian detik, mencoba menelaah isi kepalanya. Namun tak kutemuman. Jadi, aku mengalihkan pandangku lagi ke belakangnya, tepat pada laki-laki tambun yang kini sedang mengedipkan mata kepadaku, akh dasar, jelalatan!

"Baik anak-anak" Bu Lita kini membuka suara. "Hari ini kalian memiliki teman baru. Ayo perkenalkan dirimu"

Aku pun mulai memperkenalkan diri "Halo, perkenalkan namaku Lala Vernita Deriansyah, kalian bisa memanggiki Lavender"

"Boleh aku bertanya?" Laki-laki jelalatan itu mengancungkan tangan.

"Silahkan" kataku sok ramah.

"Mengapa namamu lavender? Apa karena kamu cantik?" Semua teman-teman tertawa bersamaan mendengat penuturannya. Ingin rasanya ku lempar dua menggunakan penghapus yang kini hanya berjarak semeter denganku.

"Hati-hati loh lavender, dia itu kadal" seru seseorang yang duduk disamping kirinya.

"Nah kamu buaya" balasnya lagi.

Aku hanya memasang senyum melihat tingkah kedua laki-laki ingusan itu.

"Jawab dong Lavender" katanya lagi.

"Orang tuaku memanggilku lavender sebab mereka ini aku harum semerbak bunga lavender dan bisa membuat semua orang nyaman jika berada disampingku" kataku dengan tenang. Namun, entah apakah wajahku juga terlihat tenang. Akh sudahlah.

Kini kulihat laki-laki pemilik sepeda ontel itu manggut-manggut, sepertinya dia setuju dengan apa yang kukatakan.

"Oke Lavender, kamu duduk disana" bu Lita mempersilahkanku duduk dibangku kosong paling belakang. Tepat di samping gadis pojokan.

Akupun melangkah menuju bangku itu. Kakiku terasa sangat berat disaat melewati pemilik sepeda ontel itu. Aku melihatnya yang kini sedang tertunduk, hanya sekilas saja. Kemudian berlalu pergi.

Sejak hari itu, aku merasa bahwa ada yang berbeda dengannya. Laki-laki pemilik sepeda ontel itu. Entah kisah apa yang akan kurangkai dengannya.  Entahlah, biar waktu yang menjawab.


0 Response to "Lelaki dan Sepeda Ontel"

Posting Komentar