Keterampilan Berpikir
Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan (inferring), yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir yang terumuskan. Untuk mengajarkan keterampilan berpikir menarik kesimpulan tersebut, pertama-tama proses kognitif inferring harus dipecah ke dalam langkah-langkah sebagai berikut: (Joko Sutrisno, 2012)
(a) mengidentifikasi pertanyaan atau fokus kesimpulan yang akan dibuat,
(b) mengidentifikasi fakta yang diketahui,
(c) mengidentifikasi pengetahuan yang relevan yang telah diketahui sebelumnya, dan
(d) membuat perumusan prediksi hasil akhir.
Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang sebenarnya cukup berbeda; yaitu: (Joko Sutrisno, 2012) :
1) Berpikir tingkat tinggi (high level thinking) yakni operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis.
2) Berpikir kompleks (complex thinking) yakni proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian.
3) berpikir kritis (critical thinking) yakni salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu titik.
Dalam makalahnya Andrew P. Jhonson (The Educational Resources Information Center (ERIC), 2002) memberikan contoh 10 keterampilan berpikir kritis dan 8 keterampilan berpikir kreatif beserta kerangka berpikirnya. Yang dimaksud dengan kerangka berpikir adalah suatu representasi dari proses kognitif tertentu yang dipecah ke dalam langkah-langkah spesifik dan digunakan untuk mendukung proses berpikir. Kerangka berpikir tersebut digunakan sebagai petunjuk berpikir bagi siswa ketika mereka mempelajari suatu keterampilan berpikir. Dalam praktiknya, kerangka berpikir tersebut dapat dibuat dalam bentuk poster yang ditempatkan di dalam ruang kelas untuk membantu proses belajar mengajar.
Jika pengajaran keterampilan berpikir kepada siswa belum sampai pada tahap siswa dapat mengerti dan belajar menggunakannya, maka keterampilan berpikir tidak akan banyak bermanfaat. Pembelajaran yang efektif dari suatu keterampilan memiliki empat komponen, yaitu: identifikasi komponen-komponen prosedural, instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, dan latihan bebas.
Pada dasarnya pembelajaran keterampilan berpikir dapat dengan mudah dilakukan. Sayangnya, kondisi pembelajaran yang ada di kebanyakan sekolah di Indonesia belum begitu mendukung untuk terlaksananya pembelajaran ketrampilan berpikir yang efektif. Beberapa kendalanya antara lain pembelajaran di sekolah masih terfokus pada guru, belum student centered; dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat menghafal/pengetahuan faktual. Keterampilan berpikir sebenarnya merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan diajarkan, baik di sekolah maupun melalui belajar mandiri. Yang perlu diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir ini adalah bahwa keterampilan tersebut harus dilakukan melalui latihan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Tahapan tersebut adalah: (Joko Sutrisno, 2012.
1) Identifikasi komponen-komponen procedural Siswa diperkenalkan pada keterampilan dan langkah-langkah khusus yang diperlukan dalam keterampilan tersebut. Ketika mengajarkan keterampilan berpikir, siswa diperkenalkan pada kerangka berpikir yang digunakan untuk menuntun pemikiran siswa.
2) Instruksi dan pemodelan langsung Selanjutnya, guru memberikan instruksi dan pemodelan secara eksplisit, misalnya tentang kapan keterampilan tersebut dapat digunakan. Instruksi dan pemodelan ini dimaksudkan supaya siswa memiliki gambaran singkat tentang keterampilan yang sedang dipelajari, sehingga instruksi dan pemodelan ini harus relatif ringkas.
3) Latihan terbimbing Latihan terbimbing seringkali dianggap sebagai instruksi bertingkat seperti sebuah tangga. Tujuan dari latihan terbimbing adalah memberikan bantuan kepada anak agar nantinya bisa menggunakan keterampilan tersebut secara mandiri. Dalam tahapan ini guru memegang kendali atas kelas dan melakukan pengulangan-pengulangan.
4) Latihan bebas Guru mendesain aktivitas sedemikian rupa sehingga siswa dapat melatih keterampilannya secara mandiri, misalnya berupa pekerjaan rumah. Jika ketiga langkah pertama telah diajarkan secara efektif, maka diharapkan siswa akan mampu menyelesaikan tugas atau aktivitas ini 95% - 100%. Latihan mandiri tidak berarti sesuatu yang menantang, melainkan sesuatu yang dapat melatih keterampilan yang telah diajarkan.
Jika kita kembalikan kepada dunia pendidikan di Indonesia, yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengajarkan keterampilan berpikir tersebut di sekolah sehingga ia bisa menjadi sesuatu yang dapat memperbaiki belajar siswa. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk melakukan hal ini, yaitu keterampilan berpikir dijadikan terpadu dengan bidang studi yang diajarkan atau keterampilan berpikir diajarkan secara terpisah. Di beberapa wilayah di Jerman, sekolah mengajarkan pelajaran Logika kepada para siswanya.
Di Indonesia, pengajaran keterampilan berpikir memiliki beberapa kendala. Salah satunya adalah terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai penyebar ilmu atau sumber ilmu, sehingga siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi dengan ilmu oleh guru. Kendala lain yang sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sebenarnya cukup kondusif bagi pengembangan pengajaran keterampilan berpikir, karena mensyaratkan siswa sebagai pusat belajar. Namun demikian, bentuk penilaian yang dilakukan terhadap kinerja siswa masih cenderung mengikuti pola lama, yaitu model soal-soal pilihan ganda yang lebih banyak memerlukan kemampuan siswa untuk menghafal.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir di sekolah antara lain adalah sebagai berikut: (Joko Sutrisno, 2012)
• Keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki siswa
• Keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pengajaran suatu bidang studi
• Pada kenyataannya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing
• Pengajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student-centered).
Selain beberapa prinsip di atas, satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam pengajaran keterampilan berpikir adalah perlunya latihan-latihan yang intensif. Seperti halnya keterampilan yang lain, dalam keterampilan berpikir siswa perlu mengulang untuk melatihnya walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin yang dilakukan siswa akan berdampak pada efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir yang telah dimiliki siswa. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru harus selalu menambahkan keterampilan berpikir yang baru dan mengaplikasikannya dalam pelajaran lain sehingga jumlah atau macam keterampilan berpikir siswa bertambah banyak. (Joko Sutrisno, 2012)
(a) mengidentifikasi pertanyaan atau fokus kesimpulan yang akan dibuat,
(b) mengidentifikasi fakta yang diketahui,
(c) mengidentifikasi pengetahuan yang relevan yang telah diketahui sebelumnya, dan
(d) membuat perumusan prediksi hasil akhir.
Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang sebenarnya cukup berbeda; yaitu: (Joko Sutrisno, 2012) :
1) Berpikir tingkat tinggi (high level thinking) yakni operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis.
2) Berpikir kompleks (complex thinking) yakni proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian.
3) berpikir kritis (critical thinking) yakni salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu titik.
Dalam makalahnya Andrew P. Jhonson (The Educational Resources Information Center (ERIC), 2002) memberikan contoh 10 keterampilan berpikir kritis dan 8 keterampilan berpikir kreatif beserta kerangka berpikirnya. Yang dimaksud dengan kerangka berpikir adalah suatu representasi dari proses kognitif tertentu yang dipecah ke dalam langkah-langkah spesifik dan digunakan untuk mendukung proses berpikir. Kerangka berpikir tersebut digunakan sebagai petunjuk berpikir bagi siswa ketika mereka mempelajari suatu keterampilan berpikir. Dalam praktiknya, kerangka berpikir tersebut dapat dibuat dalam bentuk poster yang ditempatkan di dalam ruang kelas untuk membantu proses belajar mengajar.
Jika pengajaran keterampilan berpikir kepada siswa belum sampai pada tahap siswa dapat mengerti dan belajar menggunakannya, maka keterampilan berpikir tidak akan banyak bermanfaat. Pembelajaran yang efektif dari suatu keterampilan memiliki empat komponen, yaitu: identifikasi komponen-komponen prosedural, instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, dan latihan bebas.
Pada dasarnya pembelajaran keterampilan berpikir dapat dengan mudah dilakukan. Sayangnya, kondisi pembelajaran yang ada di kebanyakan sekolah di Indonesia belum begitu mendukung untuk terlaksananya pembelajaran ketrampilan berpikir yang efektif. Beberapa kendalanya antara lain pembelajaran di sekolah masih terfokus pada guru, belum student centered; dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat menghafal/pengetahuan faktual. Keterampilan berpikir sebenarnya merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan diajarkan, baik di sekolah maupun melalui belajar mandiri. Yang perlu diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir ini adalah bahwa keterampilan tersebut harus dilakukan melalui latihan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Tahapan tersebut adalah: (Joko Sutrisno, 2012.
1) Identifikasi komponen-komponen procedural Siswa diperkenalkan pada keterampilan dan langkah-langkah khusus yang diperlukan dalam keterampilan tersebut. Ketika mengajarkan keterampilan berpikir, siswa diperkenalkan pada kerangka berpikir yang digunakan untuk menuntun pemikiran siswa.
2) Instruksi dan pemodelan langsung Selanjutnya, guru memberikan instruksi dan pemodelan secara eksplisit, misalnya tentang kapan keterampilan tersebut dapat digunakan. Instruksi dan pemodelan ini dimaksudkan supaya siswa memiliki gambaran singkat tentang keterampilan yang sedang dipelajari, sehingga instruksi dan pemodelan ini harus relatif ringkas.
3) Latihan terbimbing Latihan terbimbing seringkali dianggap sebagai instruksi bertingkat seperti sebuah tangga. Tujuan dari latihan terbimbing adalah memberikan bantuan kepada anak agar nantinya bisa menggunakan keterampilan tersebut secara mandiri. Dalam tahapan ini guru memegang kendali atas kelas dan melakukan pengulangan-pengulangan.
4) Latihan bebas Guru mendesain aktivitas sedemikian rupa sehingga siswa dapat melatih keterampilannya secara mandiri, misalnya berupa pekerjaan rumah. Jika ketiga langkah pertama telah diajarkan secara efektif, maka diharapkan siswa akan mampu menyelesaikan tugas atau aktivitas ini 95% - 100%. Latihan mandiri tidak berarti sesuatu yang menantang, melainkan sesuatu yang dapat melatih keterampilan yang telah diajarkan.
Jika kita kembalikan kepada dunia pendidikan di Indonesia, yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengajarkan keterampilan berpikir tersebut di sekolah sehingga ia bisa menjadi sesuatu yang dapat memperbaiki belajar siswa. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk melakukan hal ini, yaitu keterampilan berpikir dijadikan terpadu dengan bidang studi yang diajarkan atau keterampilan berpikir diajarkan secara terpisah. Di beberapa wilayah di Jerman, sekolah mengajarkan pelajaran Logika kepada para siswanya.
Di Indonesia, pengajaran keterampilan berpikir memiliki beberapa kendala. Salah satunya adalah terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai penyebar ilmu atau sumber ilmu, sehingga siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi dengan ilmu oleh guru. Kendala lain yang sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sebenarnya cukup kondusif bagi pengembangan pengajaran keterampilan berpikir, karena mensyaratkan siswa sebagai pusat belajar. Namun demikian, bentuk penilaian yang dilakukan terhadap kinerja siswa masih cenderung mengikuti pola lama, yaitu model soal-soal pilihan ganda yang lebih banyak memerlukan kemampuan siswa untuk menghafal.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir di sekolah antara lain adalah sebagai berikut: (Joko Sutrisno, 2012)
• Keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki siswa
• Keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pengajaran suatu bidang studi
• Pada kenyataannya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing
• Pengajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student-centered).
Selain beberapa prinsip di atas, satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam pengajaran keterampilan berpikir adalah perlunya latihan-latihan yang intensif. Seperti halnya keterampilan yang lain, dalam keterampilan berpikir siswa perlu mengulang untuk melatihnya walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin yang dilakukan siswa akan berdampak pada efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir yang telah dimiliki siswa. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru harus selalu menambahkan keterampilan berpikir yang baru dan mengaplikasikannya dalam pelajaran lain sehingga jumlah atau macam keterampilan berpikir siswa bertambah banyak. (Joko Sutrisno, 2012)
0 Response to "Keterampilan Berpikir"
Posting Komentar