Kopi dan Kenangan
Seingatku, dia pernah ada disini, ditempat yang hingga saat ini menjadi kenangan yang tak pernah hilang dan terlupa. Kursi coklat yang ada dipojok sana menjadi saksi disaat kita berdua bersama-sama menyeruput kopi pahit buatannya. Pahit, namun saat bersamanya kopi itu menjadi manis disetiap cecapan.
Kini, dia telah pergi, jauh dari jangkauanku. Sebagai seorang lelaki tidak ada sesuatu yang lebih menyakitkan dibandingkan kepergiannya. Bukan karena apa-apa, hanya karena hati kami yang tak bisa disatukan lagi, dan dia telah menemukan hati lain yang membuatnya tersanjung sebagai seorang perempuan.
“Maafkan aku Dan. Semoga kamu bahagia dan menemukan perempuan yang jauh lebih baik dariku”
Itu kalimat terakhir yang keluar dari bibir tipisnya disaat dia beranjak pergi dan menutup lembaran kisah kita berdua. Itulah hari terakhir aku menatapa mata sayunya yang selalu membuatku jatuh cinta mendalam. Itulah hari terkahir disaat aku bisa melihat senyumnya yang dihiasi gigi gingsul yang mempesona. Meskipun aku mencoba menahan, namun rupanya usahaku sia-sia, sebab dia tak lagi menginginkaku untuk menahannya.
“Jaga dirimu baik-baik. Semoga kamu bahagaia” kataku setelah dia menghilang diujung mataku. Seolah bumi terhenti. Hatiku remuk, namun tak tampak. Sejak saat itu aku merasa kehilangan. Namun, disisi lain ada amarah dan rindu yang tersimpan rapi disini. Disebuah tempat didalam hatiku, yang membuatku sulit membuka hati untuk yang lain.
Kini, hari ini, aku duduk ditempat ini, disebuah coffe shop di sudut kota. Aku tak ada niat apa-apa. Aku hanya ingin datang saja melihat situasi disani setelah tiga tahun aku menghilang dan menutup diri.
Kini kopi panas telah terhidang dihadapanku. Warnanya hitam pekat. Mungkin rasanya pahit. Namun, jika aku mengingatnya, apakah rasanya akan berubah jadi manis? Biar ku coba.
“Ehh. Pahit” batinku. Rupanya mengingatnya bukanlah menjadi penawar pahit ini.
“Eh, Dani” seorang wanita berusia 40 tahunan mengagetkanku. Dia adalah ibu Miranda. Pemilik Coffe Shop ini. Tokonya ini telah berdiri kurang lebih lima tahun yang lalu. Dan dia, Ibel, wanita yang kuceritakan tadi pernah menjadi salah satu karyawan di toko Ibu Miranda.
“Eh, Ibu Anda” kataku padanya sambil menjabat dan mencium tangannya. Dia memegang bahuku sambil tersenyum dan melanjutkan duduk dihadapanku, sebuah kursi yang dulunya selalu diisi oleh wanita yang pernah menjadi ratu di hatiku, Ibel.
“Ya ampun, Dani, sudah lama sekali yah kamu tidak kesini. Dari mana aja Nak?” Tanyanya padaku penuh semangat.
“Hehe biasa bu, dari merantau?”
“Haa?? Merantau? Dimana?”
“Di Negeri orang hehe”
“Ngapain disana?”
“Belajar Bu”
“Oh kamu lanjutin s2 mu Nak”
“Iya, Bu” kataku sambil tersenyum padanya.
“Alhamdulillah kalau begitu. Ibu kira kamu kenapa-kenapa”
“Memangnya aku kenapa bu? Aku kan tidak apa-apa”
“Kan, biasanya kalau sudah putus cinta sakit hati tuh. Ibu takut kalau-kalau kamu melakukan hal yang tidak-tidak”
“Hahaha, loh kok ibu berpikir begitu?” tanyaku diiringi gelak tawa.
“Habisnya, kamu cinta banget kan sama Ibel. Dan ternyata dia memilih yang lain. Ibu sudah sedih sebenarnya Nak melihat kamu”
“Hehe kan bukan jodoh bu. Ngomong-ngomong Ibel tidak pernah kesini?” Tanyaku yang diam-diam ingin mengorek informasi tentang wanita itu.
“Pernah kok. Tapi jarang. Hanya sekedar berkunjung”
“Hmm, mungkin anaknya sudah besar yah Bu?” Tanyaku iseng.
“Iya, anaknya sudah besar. Sudah setahu katanya”
“Oh” kataku sambil mengangguk. “Rupanya dia sudah punya anak” batinku.
“Kamu belum menikah Nak?”
“Belum bu hehe”
“Loh kenapa, Ibel saja sudah punya anak. Kamu juga harus nikah dong”
“Heheh nanti sajalah bu, belum ada yang cocok sih”
“Susah yah cari calon istri”
“Heheh iya Bu”
Sebenarnya bagiku mencari calon istri bukanlah hal yang susah, bukan bermaksud sombong. Tapi mungkin aku memang pemilih. Selama tiga tahu sendiri, aku selalu mencari sosok wanita yang bisa membuatku melupakan Ibel sepenuhnya. Namun, tak bisa kutemukan. Dikala aku berusaha membuka hati, wajah lembut ibel selalu hadir didalam bayangan. Seolah dia datang mengisyaratkan bahwa, wanita itu bukan jodohku.
Aku tidak mau menjadikan wanita piliahnku kelak berada dibawah bayang-bayang ibel. Aku harus melupakan ibel terlbih dahulu sebelum memilih yang lain. Cukup kisahku dan ibel menjadi sebuah pelajaran, bahwa menghadirkan orang ketiga dalam hubungan adalah sebuah siksaan. Aku tak mau wanitaku kelak hanya menjadi batu sandungan.
“Assalamu ‘alaikum Bunda” suara lembut yang terdengar familiar menggema diseluru ruangan itu. Mata ibu Miranda berbinar. Namun, secepat kilat memandangku, kemudian memandang sosok itu. Aku berbalik dan ternyata….
“Ibel..” kataku
“Dan” katanya
Kulihat didalam dekapannya ada gadis mungil menatapku polos. Mata yang dia miliki sama dengan mata ibel, mata sayu,
“Eh, ayo bel, duduk dulu” Ibu Miranda mempersilahkan kami duduk. Jadilah meja itu menjadi saksi pertemuanku dengan ibel setelah tiga tahun berlalu.
“Kamu apa kabar Dan” tanyanya padaku yang tengah memangku gadis mungilnya.
“Baik” jawabku singkat sambil memegang gelas kopi yang kini sudah dingin tergerus waktu.
“Lama yah kita tak jumpa. Kamu masih tinggal ditempat yang dulu?”
“Iya” lagi-lagi aku hanya menjawab singkat.
“Ini benar-benar takdir yah, kita bertemu disini” katanya sambil tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya yang terlihat sangat menawan.
Akh aku tak mau lagi berlama-lama disini. Semakin aku meladeninya, maku kenangan tentangnya tak bisa kuhapus.
“Aku pulang dulu yah Bel, Ibu Anda. Aku masih banyak urusan. Aku senang bertemu kalian” kataku sambil tersenyum dan segera mengenakan jaket yang sedari tadi ku gantung dibelakang kursi.
Aku meninggalkan tempat itu dan kenanganku. Aku berharapa suatu hari nanti jika aku mengunjungi tempat itu lagi, kopi yang kuminum tidak lagi mengingatkanku pada kenangan yang kupunya. Aku ingin menikmati kopi berdua dengan wanita yang kupilih dan melukis kenangan yang baru dengannya.
Kini, dia telah pergi, jauh dari jangkauanku. Sebagai seorang lelaki tidak ada sesuatu yang lebih menyakitkan dibandingkan kepergiannya. Bukan karena apa-apa, hanya karena hati kami yang tak bisa disatukan lagi, dan dia telah menemukan hati lain yang membuatnya tersanjung sebagai seorang perempuan.
“Maafkan aku Dan. Semoga kamu bahagia dan menemukan perempuan yang jauh lebih baik dariku”
Itu kalimat terakhir yang keluar dari bibir tipisnya disaat dia beranjak pergi dan menutup lembaran kisah kita berdua. Itulah hari terakhir aku menatapa mata sayunya yang selalu membuatku jatuh cinta mendalam. Itulah hari terkahir disaat aku bisa melihat senyumnya yang dihiasi gigi gingsul yang mempesona. Meskipun aku mencoba menahan, namun rupanya usahaku sia-sia, sebab dia tak lagi menginginkaku untuk menahannya.
“Jaga dirimu baik-baik. Semoga kamu bahagaia” kataku setelah dia menghilang diujung mataku. Seolah bumi terhenti. Hatiku remuk, namun tak tampak. Sejak saat itu aku merasa kehilangan. Namun, disisi lain ada amarah dan rindu yang tersimpan rapi disini. Disebuah tempat didalam hatiku, yang membuatku sulit membuka hati untuk yang lain.
Kini, hari ini, aku duduk ditempat ini, disebuah coffe shop di sudut kota. Aku tak ada niat apa-apa. Aku hanya ingin datang saja melihat situasi disani setelah tiga tahun aku menghilang dan menutup diri.
Kini kopi panas telah terhidang dihadapanku. Warnanya hitam pekat. Mungkin rasanya pahit. Namun, jika aku mengingatnya, apakah rasanya akan berubah jadi manis? Biar ku coba.
“Ehh. Pahit” batinku. Rupanya mengingatnya bukanlah menjadi penawar pahit ini.
“Eh, Dani” seorang wanita berusia 40 tahunan mengagetkanku. Dia adalah ibu Miranda. Pemilik Coffe Shop ini. Tokonya ini telah berdiri kurang lebih lima tahun yang lalu. Dan dia, Ibel, wanita yang kuceritakan tadi pernah menjadi salah satu karyawan di toko Ibu Miranda.
“Eh, Ibu Anda” kataku padanya sambil menjabat dan mencium tangannya. Dia memegang bahuku sambil tersenyum dan melanjutkan duduk dihadapanku, sebuah kursi yang dulunya selalu diisi oleh wanita yang pernah menjadi ratu di hatiku, Ibel.
“Ya ampun, Dani, sudah lama sekali yah kamu tidak kesini. Dari mana aja Nak?” Tanyanya padaku penuh semangat.
“Hehe biasa bu, dari merantau?”
“Haa?? Merantau? Dimana?”
“Di Negeri orang hehe”
“Ngapain disana?”
“Belajar Bu”
“Oh kamu lanjutin s2 mu Nak”
“Iya, Bu” kataku sambil tersenyum padanya.
“Alhamdulillah kalau begitu. Ibu kira kamu kenapa-kenapa”
“Memangnya aku kenapa bu? Aku kan tidak apa-apa”
“Kan, biasanya kalau sudah putus cinta sakit hati tuh. Ibu takut kalau-kalau kamu melakukan hal yang tidak-tidak”
“Hahaha, loh kok ibu berpikir begitu?” tanyaku diiringi gelak tawa.
“Habisnya, kamu cinta banget kan sama Ibel. Dan ternyata dia memilih yang lain. Ibu sudah sedih sebenarnya Nak melihat kamu”
“Hehe kan bukan jodoh bu. Ngomong-ngomong Ibel tidak pernah kesini?” Tanyaku yang diam-diam ingin mengorek informasi tentang wanita itu.
“Pernah kok. Tapi jarang. Hanya sekedar berkunjung”
“Hmm, mungkin anaknya sudah besar yah Bu?” Tanyaku iseng.
“Iya, anaknya sudah besar. Sudah setahu katanya”
“Oh” kataku sambil mengangguk. “Rupanya dia sudah punya anak” batinku.
“Kamu belum menikah Nak?”
“Belum bu hehe”
“Loh kenapa, Ibel saja sudah punya anak. Kamu juga harus nikah dong”
“Heheh nanti sajalah bu, belum ada yang cocok sih”
“Susah yah cari calon istri”
“Heheh iya Bu”
Sebenarnya bagiku mencari calon istri bukanlah hal yang susah, bukan bermaksud sombong. Tapi mungkin aku memang pemilih. Selama tiga tahu sendiri, aku selalu mencari sosok wanita yang bisa membuatku melupakan Ibel sepenuhnya. Namun, tak bisa kutemukan. Dikala aku berusaha membuka hati, wajah lembut ibel selalu hadir didalam bayangan. Seolah dia datang mengisyaratkan bahwa, wanita itu bukan jodohku.
Aku tidak mau menjadikan wanita piliahnku kelak berada dibawah bayang-bayang ibel. Aku harus melupakan ibel terlbih dahulu sebelum memilih yang lain. Cukup kisahku dan ibel menjadi sebuah pelajaran, bahwa menghadirkan orang ketiga dalam hubungan adalah sebuah siksaan. Aku tak mau wanitaku kelak hanya menjadi batu sandungan.
“Assalamu ‘alaikum Bunda” suara lembut yang terdengar familiar menggema diseluru ruangan itu. Mata ibu Miranda berbinar. Namun, secepat kilat memandangku, kemudian memandang sosok itu. Aku berbalik dan ternyata….
“Ibel..” kataku
“Dan” katanya
Kulihat didalam dekapannya ada gadis mungil menatapku polos. Mata yang dia miliki sama dengan mata ibel, mata sayu,
“Eh, ayo bel, duduk dulu” Ibu Miranda mempersilahkan kami duduk. Jadilah meja itu menjadi saksi pertemuanku dengan ibel setelah tiga tahun berlalu.
“Kamu apa kabar Dan” tanyanya padaku yang tengah memangku gadis mungilnya.
“Baik” jawabku singkat sambil memegang gelas kopi yang kini sudah dingin tergerus waktu.
“Lama yah kita tak jumpa. Kamu masih tinggal ditempat yang dulu?”
“Iya” lagi-lagi aku hanya menjawab singkat.
“Ini benar-benar takdir yah, kita bertemu disini” katanya sambil tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya yang terlihat sangat menawan.
Akh aku tak mau lagi berlama-lama disini. Semakin aku meladeninya, maku kenangan tentangnya tak bisa kuhapus.
“Aku pulang dulu yah Bel, Ibu Anda. Aku masih banyak urusan. Aku senang bertemu kalian” kataku sambil tersenyum dan segera mengenakan jaket yang sedari tadi ku gantung dibelakang kursi.
Aku meninggalkan tempat itu dan kenanganku. Aku berharapa suatu hari nanti jika aku mengunjungi tempat itu lagi, kopi yang kuminum tidak lagi mengingatkanku pada kenangan yang kupunya. Aku ingin menikmati kopi berdua dengan wanita yang kupilih dan melukis kenangan yang baru dengannya.
0 Response to "Kopi dan Kenangan"
Posting Komentar